Selasa, 19 April 2016

Apakah Makanan Haram Menajiskan?



Sangat disesalkan bahwa makanan haram versi Taurat masih juga menjadi perdebatan beberapa denominasi pada masa kini.
Ada yang bilang boleh, ada yang bilang ngga boleh.

Jadi bagaimanakah kita bersikap terhadap topik ini?

Saya tidak akan banyak mengutip ayat-ayat terkait kedudukan Taurat di Perjanjian Baru karena rasanya kawan-kawan pembaca sudah memahami itu semua.
 
Saya tertarik pada ucapan Tuhan Yesus ini:

Mat 15:11
Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang

Kok bisa begitu ya?

-----

Di dalam Taurat, ada hal-hal yang haram dan menajiskan 
(Bahasa Ibrani:Tame=unclean/kotor/jijik/tidak bersih/tidak patut).

Tetapi tidak semua yang haram dan menajiskan itu menyebabkan orang yang mengalaminya jadi bersalah.

Misalnya hari ini Anda mimpi basah.
Dengan mimpi basah, maka menurut Taurat Anda jadi najis (kotor, tidak bersih) tetapi Anda tidak berdosa.

Mimpi basah kan sambil tidur, keadaan Anda tidak sadar.  
Jika memang sudah waktunya mimpi basah menurut jam biologis Anda ya harus terjadilah itu.  

Kita perlu memahami bahwa dalam Taurat ada yang mendatangkan dosa, ada juga yang sebatas najis.
Mungkin beberapa orang mengaitkan bahwa yang najis sudah pasti dosa.
Tidak begitu dalam Taurat.

Najis itu bisa jadi hanya sebatas 'kotor, jijik, tidak bersih atau tidak patut'.

-----

Menstruasi wanita itu menajiskan, tapi menstruasi itu alamiah, semua wanita mengalami. Apakah proses menstruasi yang diciptakan Tuhan mendatangkan dosa?
Tidak.

Sakit kusta itu menajiskan, tapi siapa juga yang sengaja mau sakit? Jika ada orang terkena penyakit ini, apakah ia otomatis berdosa karena bakteri Leprae itu?
Tidak.

Pria mengeluarkan air mani saat berhubungan dengan isterinya maka keduanya jadi najis, tapi suami-isteri memang harus berhubungan seks. Apakah setiap suami-isteri melakukan hubungan seks maka mendatangkan dosa sehingga wajib meminta ampun? Tentu tidak.

Perempuan melahirkan disebut najis. Lha mendatangkan bayi ke dunia adalah kejadian mujizat dari Tuhan, tentunya ini bukan dosa.

Jadi harap diketahui bahwa tidak semua hal yang menajiskan membuat orang jadi bersalah/berdosa.
Kadang kenajisan itu diatasi hanya dengan pembersihan atau hanya menunggu terbenamnya matahari.      

-----

Kembali ke makanan haram.

Apakah makanan haram itu menajiskan menurut Taurat?
Ya.


Makanan haram pada masa itu dianggap kotor, jijik, tidak patut, tidak bersih.
Tapi apakah makanan haram mendatangkan dosa bagi yang memakannya?

Tidak.

Apa buktinya?

Di dalam Taurat Musa tidak ada konsekuensi hukuman apapun jika seseorang memakan daging yg diharamkan.
Taurat Musa tidak menuliskan bahwa memakan makanan-haram itu menjadikan seseorang bersalah/berdosa.

Orang yang memakan makanan-haram tidak menjadi najis hingga matahari terbenam dan tidak menajiskan siapapun yang bersentuhan dengannya. Tidak ada konsekuensi apapun di Taurat bagi mereka yang memakan makanan haram.

Mahkamah Agama Yahudi memang berperan menerapkan hukuman/solusi jika seseorang makan babi, namun hukuman ini bukan dari Taurat melainkan mereka tetapkan sebagai sanksi sosial. 

Pada masa kini jika ada seorang Yahudi memakan babi (sengaja atau tidak), maka ia cukup mencuci mulut saja untuk menyucikan dirinya.
Ia tidak usah potong kambing, lembu, domba ataupun merpati sebagai korban penebus salah.

Dari situ kita dapat melihat bahwa daging binatang apapun pada dasarnya tidak mdatangkan dosa bagi siapapun yang memakannya. Daging binatang tidak mendosakan manusia.

Inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus.
Apa yang masuk ke mulut tidak dapat membuat seseorang bersalah
Yang membuat orang bersalah adalah apa yang keluar dari hatinya.



Ya, binatang haram pada masa itu adalah kejijikan, membuat seseorang kotor (unclean) tetapi tidak membawa dosa pada orang itu.

-----

Lalu mengapa ada aturan makanan halal dan haram di Taurat Musa?

Aturan makanan halal dan haram ditujukan agar umat Israel membedakan diri dari bangsa-bangsa Kanaan yg berdiam di sekelilingnya.

Im 20:26
Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku.
 


Fungsi aturan makanan-haram pada masa itu adalah menjadi faktor pembeda antara umat Israel dengan bangsa-bangsa lain di sekeliling mereka.

Pada masa Taurat, manusia adalah kedagingan maka hal-hal lahiriah digunakan sebagai faktor pembeda.
Cara mencukur rambut, cara berpakaian, cara ibadat, cara membagi waris sampai cara mengolah makanan, semua itu menjadi alat pembeda antara bangsa Israel dengan bangsa lain.

Dengan kata lain, umat Israel harus menunjukkan perbedaan kultur terhadap bangsa-bangsa lain sebagai identitas mereka. 

Saya berikan contoh,
Di dalam peraturan perundangan Indonesia, ada aturan/tata cara menghormat bendera.
Bendera itu identitas kenegaraan yang harus dihormati dengan cara-cara tertentu.
Siapa yang melanggar akan ditangkap dan dihukum.

Nah, aturan hormat bendera ini apakah ada kaitannya dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

Tentu tidak ada.
Aturan bendera tidak ada hubungannya dengan religiusitas melainkan rasa kebangsaan. 

Begitupun aturan makanan halal/haram tidak ada kaitannya dengan dosa melainkan dengan identitas ke-Yahudi-an.

Makanya sia-sia jika kita Gereja hingga saat ini mengharapkan pembenaran dan keselamatan dari Tuhan dengan cara menaati hukum makanan.
Tidak ada hubungannya.  

Selain itu, aturan najis/tahir diterapkan untuk alasan kesehatan.
Kondisi masa lalu tentu beda dengan masa kini.

Dahulu kusta adalah penyakit sangat ganas, sehingga dengan status kenajisan diharapkan penyebaran penyakit ini dapat dibendung.

Mungkin saja dahulu ada kekotoran tertentu dari binatang haram sehingga berbahaya bagi orang yang memakan dagingnya. Mungkin juga pada masa itu Israel harus bercampur dengan bangsa Kanaan untuk penyediaan daging tersebut dan bangsa Kanaan menyiapkan daging dengan kurang bersih atau gaya hidup mereka kurang bersih.



-----

Apakah sekarang masih relevan?

Kini Injil diberitakan ke seluruh bumi tanpa memandang kebangsaan, ras, kesukuan maupun negara.

Dengan multi-kultur ini maka aturan halal-haram tidak lagi relevan.

Orang Kristen tidak 'dikeluarkan' dari kesukuannya, atau kebangsaannya, atau rasnya, melainkan menjadi terang di tengah-tengah suku, bangsa dan ras dimanapun dia berada.
Kini orang Kristen dikenali dari perilakunya, yaitu apapun yang keluar dari hati dan mulutnya.

Seorang Kristen dapat duduk makan dengan siapapun juga sesuai budaya setempat dengan bebas sepanjang tidak menimbulkan batu sandungan.

Yang masih perlu diperhatikan adalah alasan kesehatannya. 
Sepanjang penyiapan makanan dilakukan dengan higienis, maka kita tidak perlu khawatir dengan dagingnya.

-----

Bagaimana jika ada denominasi yang masih meyakini adanya makanan yang mengharamkan?
Biarkanlah saja.

Siapapun bebas menerapkan standar bagi mereka sendiri sepanjang mereka memahami bahwa standar tersebut bukan hal yang baku dan bukan faktor pembenaran keselamatan.

Jika saya tidak mau makan babi seumur hidup saya, maka silakan tidak makan babi bagi kemuliaan Tuhan menurut standar diri saya sendiri.
Yang penting kita semua tau bahwa daging babi tidak mengandung janji keselamatan kekal di dalam setiap serat-seratnya.

Tuhan Yesus memberkati.


Tidak ada komentar:

Faith of God

Markus 11:22 Yesus menjawab mereka: "Percayalah kepada Allah!   Konteks dari ayat ini adalah kisah pohon ara yang dikutuk...