Kamis, 16 Februari 2017

Song of Songs - Song of Solomon (Tafsiran Alternatif)



Dalam tulisan ini izinkan saya menawarkan tafsiran alternatif dari Kitab Kidung Agung.
Kisah ini adalah gambaran profetik (simbolik) hubungan Tuhan Yesus Kristus dengan GerejaNya, yaitu kita semua.
Kisah ini adalah nyata, berasal dari Salomo yang merupakan kisah cinta antara Salomo dengan seorang gadis yang disebut Gadis Sulam.

Dalam menulis ini saya tidak akan mengutip ayat-ayatnya.
Setuju atau tidaknya dengan alternatif penafsiran ini saya kembalikan kepada para pembaca.


***********


KIDUNG AGUNG
Kisah Cinta Salomo dan Sulamit

Salomo memiliki kebun anggur di Baal-Hamon.
Sesekali Salomo akan mengunjungi kebun anggurnya untuk inspeksi dan menikmati waktu istirahatnya.

Gadis Sulam (selanjutnya kita sebut saja Sulamit) menjaga kebun anggur di wilayah dekat kebun anggur Raja Salomo. Kebun anggur itu milik ayahnya namun ia ditugaskan menjaga bersama saudara-saudaranya. Karena tugasnya itu, kulit Sulamit kehitaman, perawakannya kuat dan kepribadiannya keras. 

Suatu ketika, Sulamit sedang berjalan-jalan ke arah lembah di dekat kebun anggurnya untuk melihat bermekarannya bunga bakung. Dalam perjalanannya, ia melihat Raja Salomo beserta para pengiringnya sedang bersantai-santai. Ia kagum akan penampilan dan pembawaan Salomo yang agung.

Di luar pengetahuannya, Raja Salomo juga melihat Sulamit. Raja sudah memiliki banyak permaisuri dan gundik, namun ia belum pernah bertemu gadis seperti Sulamit. Gadis ini kehitaman namun pembawaannya sama sekali tidak gemulai, ia tampak kuat, tegar, mandiri, benar-benar sosok yang sama sekali tidak ia harapkan untuk lihat dari gadis kebanyakan.

Salomo jatuh hati pada pandangan pertama.

Raja Salomo kembali ke istana dan ia tidak bisa melupakan pertemuan itu. Raja bisa saja datang ke tempat itu lagi dengan segala kebesarannya untuk meminang Sulamit, namun ia tidak dapat melakukannya.

Ia ingat ayahnya Daud yang dengan segala kekuasaannya memaksa Betsyeba untuk menemaninya. Akhir kisah itu kemudian menjadi aib bangsa dan mendatangkan derita pada keluarga. Walau akhirnya ia sendiri lahir dari hubungan mereka namun kejadian tersebut terus membayanginya.

Selama ini Raja Salomo memperkuat kedudukannya dengan pernikahan politik. Ia mengawini puteri-puteri dari orang berkuasa dan raja-raja negeri tetangga demi keamanan Israel.
Ia tau gadis-gadis itu kagum atas kebesarannya, atas hikmatnya, atas kekayaannya; tapi seberapakah mereka mencintai pribadinya?
Makanya Salomo tidak pernah puas, ia selalu mencari gadis lainnya, menambah perbendaharaan kekasih karena terus merasa kurang.

Dengan pemikiran seperti itu, Raja memutuskan untuk tidak melamar Sulamit dalam kebesarannya. Ia memilih cara lain.

Raja menyamar sebagai seorang gembala untuk berusaha memikat dan memenangkan hati Sulamit.

Berangkatlah Gembala Salomo ke kebun anggur Sulamit bermodalkan beberapa ternak gembalaan. Gembala sengaja membawa ternaknya dekat dengan kebun anggur Sulamit.

Tanpa dapat dibendung, mulailah Salomo dan Sulamit berkenalan. Makin lama mereka makin akrab, mereka sering berjumpa dan berjalan-jalan di padang luas.

Cinta pun bersemi di hati kedua insan ini, mereka cocok satu sama lain sekalipun latar-belakang mereka berbeda.
Banyaklah waktu yang mereka luangkan di tempat pertemuan rahasia mereka, termasuk yang paling berkesan adalah di bawah naungan sebuah pohon apel.

Mereka berjumpa sembunyi-sembunyi karena saudara-saudara Sulamit tidak menyetujui hubungan mereka. Sulamit harus bekerja, kata mereka, tidak perlu ia habiskan waktu bermesraan dengan pujaan hatinya.

Namun cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati.
Cinta antara mereka tidak dapat ditahan oleh apapun juga.

Salomo tidak dapat berdiam diri, ia harus meresmikan hubungan ini.
Ia kemudian menghilang beberapa saat lamanya.

Tibalah waktunya Salomo menghadap keluarga Sulamit dengan segala kebesarannya sebagai Raja. Ia melamar Sulamit secara resmi.

Sulamit melihat iring-iringan Sang Raja yang megah tanpa menyangka sedikitpun bahwa Sang Raja datang menemuinya. Terkejut ia pada realita namun bahagia bermekaran di hatinya. Ternyata Raja Salomo adalah gembala pujaan hatinya.

Ajaibnya, ia tidak lagi merasa asing dengan seorang Raja, ia tidak lagi merasa canggung, ia tidak lagi seperti orang yang jauh, ia kenal sendiri Sang Raja. Ia kenal pribadinya, ia tau kesukaannya, ia tau suaranya, ia tau isi hati dan pikirannya.
Ia menerima cinta sang raja tanpa terpaksa, ia menjadi yakin karena pribadi Sang Raja, bukan status, kekayaan dan kedudukan yang membuatnya merasa nyaman.

Sulamit yang sekarang bukan lagi Sulamit yang pertama kali berjumpa dengan Raja.

Bagi sang rajapun kali ini berbeda, kali ini Sang Raja menyunting gadis yang benar-benar mencintainya sebagai pribadi, tanpa menghitung kebesaran, tanpa menghitung harta, tanpa menghitung status. Gadis itu mencintai Sang Raja, mencintai waktu-waktu yang mereka habiskan bersama, dan mencintai kemesraan mereka.

Maka pergilah sang gadis menjadi permaisuri, tinggal di istana Raja, menjadi orang yang dimuliakan bersama-sama Sang Raja.

Suatu ketika sesudah mereka hidup bersama-sama di istana raja, bermimpilah Sulamit.
Mimpi ini bukan sembarang mimpi, mimpi ini adalah ekspresi dari apa yang selama ini ia rasakan dalam benaknya, mimpi ini adalah puncak dari segala kerisauannya selagi ia menjalani kehidupan sebagai permaisuri.

Sulamit bermimpi pada suatu malam Raja Salomo mendatangi dia, mengetuk pintu kamarnya untuk meluangkan waktu bersamanya, tapi Sulamit ragu membukakan pintu.
Ia terlalu lelah. Ia menimbang-nimbang sekian waktu.
Ketika ia memantapkan hatinya untuk membukakan pintu, Raja sudah pergi.
Ia menyesal lalu mencari-cari namun tidak menemukannya.
Dalam mimpinya, ia akhirnya menemukan sang kekasih di tempat cinta mereka bersemi, di padang penggembalaan sang kekasih, di bawah pohon apel tempat mereka memadu kasih.

Sulamit kemudian terjaga.
Ia menyadari kehidupan di istana telah menggerus perlahan cintanya. Ia tidak lagi seperti dahulu yang hanya rindu bersama-sama Sang Raja.
Sulamit kemudian memberanikan diri meminta Sang Raja agar ia membawanya kembali ke Lebanon, ke tempat orang tuanya, ke tempat mereka dahulu berjumpa.

Sang Raja menyetujuinya.
Ia membawanya ke ladang penggembalaan, di sana mereka memperbaharui janji cintanya.

Salomo dan Sulamit disambut keluarga sang wanita, namun diam-diam mereka menghilang ke tempat rahasia dimana mereka saling memadu kasih.

Sekian.



***********

Catatan Penulis:
Tulisan ini hanya salah satu dari beberapa alternatif penafsiran Kitab Kidung Agung. 
Ada yang tidak melihat Kitab Kidung Agung sebagai narasi melainkan hanya puisi-puisi cinta yang berdiri sendiri. Apapun penafsirannya kita hargai. Semua pihak sepakat bahwa Kitab ini adalah gambaran cinta antara Allah dan Jemaat.

Penulis memilih penafsiran ini karena kesesuaiannya dengan Kisah Cinta Agung yang kita imani, yaitu Allah Maha Mulia menjumpai dan mengejar manusia secara langsung dalam diri Yesus Kristus, Sang Gembala Agung.

Allah menjadi manusia dan menyatakan cintaNya kepada manusia.

Semua deskripsi dan narasi di atas memiliki dasar ayat di Kitab Kidung Agung, namun semua itu tidak diperoleh dari pembacaan secara urut. Penulis menyarankan untuk membaca Kidung Agung dari belakang ke depan sambil tetap membuka imajinasi.

Referensi:
www.jamesdprice.com/images/The_Story_of_the_Song_of_Solomon.doc

Tuhan Yesus memberkati.




Selasa, 14 Februari 2017

Para Penghibur Ayub

Para Penghibur Ayub


Pada waktu saya membaca kisah Ayub, respon yang langsung muncul dalam benak saya adalah apa celah Ayub yang membuatnya mengalami segala malapetaka.

Dari hasil analisis saya, saya temukan 2 sebab utama:

1. Ayub tidak mengenal Allah secara pribadi.
Hal ini dikonfirmasikan ketika Tuhan berbicara langsung pada Ayub, mengkonfrontir Ayub hingga Ayub mengakui ia baru sebatas mengenal Tuhan dari perkataan orang. Ayub bertobat lalu duduk dalam abu dan debu.

2. Ayub gagal mendidik anak-anaknya.
Rupanya anak-anak Ayub suka berpesta pora. Tampaknya Ayub hanya menegur saja, tidak mendisiplin dengan keras. Ayub sendiri yang malah mempersembahkan korban tebusan kepada Tuhan, ia tidak memaksa anak-anaknya melakukannya. Ini contoh orang tua yang tidak tegas mendidik dan menghukum anak-anaknya.

Dua kesalahan di atas adalah celah, cacat dalam karakter Ayub, 'hidden sin' yang hanya Tuhan saja yang tau, yang membuat ujian begitu besar jatuh pada Ayub.
Allah tidak salah, Ayublah yang keliru, hanya Ayub belum menyadarinya.

*
*
*
*
*
Benarkan demikian?
*
*
*
*
*
Rupanya tidak.

Ada kecacatan dalam analisa saya.
Hasil analisa saya berlawanan dengan apa yang Tuhan sendiri katakan tentang Ayub.


Ayub 1:8
Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.


Tuhan bersaksi di hadapan Iblis bahwa Ayub seorang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.
Ayub di mata Allah tidak ada dosanya.

Tunggu, tunggu, tunggu!!


Tidak mungkin ini.
Mana mungkin malapetaka menggeruduk Ayub jika ia tidak berdosa;
Pasti ada celah, ada masalah, ada kejahatan yang terselubung dalam diri Ayub, pasti itu. Mana mungkin ada manusia (pada zaman itu) yang tanpa dosa di mata Tuhan?

Tuhan bersaksi lagi:


Ayub 2:3
Firman TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan


Apa itu yang di bold???

Tanpa alasan.

Saya ulangi,
Tanpa alasan.

Tuhan berkata segala malapetaka yang dijatuhkan pada Ayub terjadi tanpa alasan.
Malapetaka jatuh atas Ayub tanpa sebab-akibat.
Ayub mengalami semua itu bukan karena dia bersalah, bukan karena dia menyimpan dosa, bukan karena cacat karakternya, bukan karena kekurangannya, itu tanpa alasan.

Lalu mengapa saat saya membaca kisah Ayub respon awal saya adalah mencari-cari alasan, mencari-cari kesalahan Ayub yang menyebabkan dia mengalami malapetaka?

Mengapa saya sampai berkata Ayub mengalami musibah karena ia tidak mengenal Allah secara pribadi?
Mengapa saya sampai berkata Ayub mengalami musibah karena ia menjadi ayah yang kurang baik?

*******

Manusia punya kecenderungan mencari sebab-akibat dalam peristiwa,
Kita ingin punya penjelasan rasional atas segala sesuatu.
That's good.
Tuhan ciptakan kita dengan akal-budi untuk dapat menghayati segala sesuatu.
Rasionalisasi adalah karunia Tuhan bagi kita.

Namun jika segala musibah akan selalu kita hubungkan dengan dosa/kesalahan, hati-hati bila kita mulai menghakimi, terlebih hati-hati kalau kita mulai mendakwa.

Sebagai seorang yang berjemaat di aliran karismatik, saya sering dapat masukan (termasuk kritik bagi diri saya sendiri) bahwa orang karismatik cenderung memojokkan orang, istilah lainnya menyalahkan orang lain.

Jika ada orang yang sakit, pertama-tama kita sidik apa dosa-dosanya sehingga ia bisa sakit.
Jika kita dengar suatu dosa/kesalahan, maka kita mudah saja berkata: 'Itu dia salahnya. Harusnya kamu nggak begitu. Harusnya kamu begini. Makanya kamu sakit.'

Jika ada orang sakit yang kita nasihatkan untuk berdoa lalu ia tidak sembuh, ia meninggal, maka kita mudah saja berucap: 'Dia kurang beriman, andaikan dia lebih beriman, ia pasti akan sembuh.' (catatan kritis:padahal bisa aja yang mendoakannyalah yang salah berdoa, hanya dia nggak suka akui itu, dia lebih suka nyalahin orang lain)

Jika ada orang kena musibah keuangan, sangat mungkin terdengar komentar: 'Bagaimana persepuluhanmu? Kamu pasti ada kurang bayar, ayo bunga dan hadiah apa udah dipersepuluhin? Ayo beri.'

Jika ada orang yang anaknya kena masalah, cetusan ini barangkali terdengar: 'Kamu kurang mendoakan, kamu kurang membangun mezbah, kamu harus lebih sering berdoa.'

Jika sang lawan bicara mengelak, maka kita bisa jadi terus mendesak: 'Masih kurang, yang kamu lakukan masih kurang, ayo lebih lagi!' atau kita akan ganti haluan mencari alasan-alasan lain yang bisa jadi penyebab musibah.

Pokoknya, Tuhan tidak akan salah, orang yang mengalami musibah pasti ada aja salahnya.

Kita Ayub memberikan cermin akan sikap kita.
Apakah kita akan menghakimi dan mendakwa Ayub? Pasti ada salah/cacat/kekurangan/kelemahan Ayub yang menyebabkan ini semua?
Ataukah kita akan memperhatikan ucapan Tuhan sendiri bahwa Ayub tidak berdosa dan mengalami malapetaka tanpa alasan.

Inilah juga yang ada di benak kawan-kawan Ayub ketika mereka datang menghibur Ayub.
Kawan-kawan Ayub datang ke sana untuk menemani Ayub, maksud mereka baik namun dalam paradigma agamanya mereka berpikir segala malapetaka ini pasti disebabkan sesuatu dalam diri Ayub.

Mereka bertukar argumen dengan Ayub, lambat-laun mereka mendesak agar Ayub mengakui kekurangan dan kesalahannya.
Dalam upaya mereka membela Tuhan dan membantu Ayub, mereka tanpa sadar mempromosikan citra Allah yang hitung-hitungan, yang menuntut, yang mengganjar dengan keras.

Jika saya pikir-pikir, kesalahan apa sih yang mungkin Ayub lakukan hingga ia menderita segala malapetaka itu hanya dalam 2 malam?
Tidak masuk akal. Kesalahan apa sih yang bisa membuat Allah menjatuhkan konsekuensi seberat itu?
Apakah Allah sesadis itu?

Saya introspeksi juga,
Ketika saya membesuk seseorang yang mengalami musibah lalu saya mulai menyidik perkaranya, apa yang saya cari?
Saya akan mencari kesalahan apa orang ini buat hingga musibah terjadi.
Saat saya temukan, semangat saya akan timbul karena saya punya modal solusi untuk dia, jika dia ngeyel dengan penjelasan saya maka saya akan argue dengan dia.

Inilah sahabat-sahabat Ayub dan saya juga.

Di akhir debat antara Ayub dan para penghiburnya, Tuhan berkata:
 

Ayub 42:7-8
Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Teman: "Murka-Ku menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.
Oleh sebab itu, ambillah tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan dan pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub." 


Ayub bersikukuh kepada sahabat-sahabatnya bahwa ia tidak bersalah, bahwa segala malapetaka ini tidak terjadi atasnya karena dosa atau kesalahan.
Di sisi lain, sahabat-sahabatnya mempromosikan keadilan Allah dan kesucian Allah, bahwa tidak mungkin segala malapetaka ini turun tanpa alasan dari pihak Ayub.

At the end, argumen Ayublah yang Tuhan terima, argumen kawan-kawannya sekalipun terdengar meninggikan Allah justru tidak diterima.

Inilah pelajaran bagi saya, ada saatnya ketika saya mendesak orang, menyalahkan orang, mencari-cari kesalahan, Tuhan justru tidak suka.
Saya mengambil posisi sebagai pendakwa padahal saya datang untuk menghibur, daripada meringankan beban orang saya malah menambah beban pikiran dia, solusi yang saya berikan justru memperlemah imannya.

Para sahabat Ayub dan juga saya telah mengerjakan godaan Iblis; Iblis gagal dengan malapetaka, Iblis gagal dengan hasutan istri Ayub, Iblis coba lagi melalui dakwaan teman-teman Ayub.

Jadi bagaimana teman-teman?
Ada beberapa pemikiran yang muncul di benak saya terkait kisah Ayub:
 

1. Malapetaka ini turun atas Ayub bukan karena kesalahan Ayub, bukan karena kelemahan dan dosa Ayub.
Ya, Iblis masuk saat anak-anak Ayub pesta pora, mungkin yang kedua kalinya di saat isterinya bersungut-sungut; namun bukan karena salahnya Ayub. Berhentilah menyalahkan Ayub.

Saat kita datang membesuk orang untuk meringankan beban mereka, ada baiknya kita menahan diri untuk menuduh dan mendakwa dari standar pikiran kita sendiri. Mungkin kita perlu berdoa dulu, diskusi dengan Tuhan dulu apa masalahnya dan bagaimana solusinya. Jangan sampai ucapan yang maksudnya baik malah membebani orang apalagi sampai Tuhan tidak berkenan. Jangan menghakimi sepintas lalu dengan informasi seadanya. Bukankah Roh Kudus bersama kita?

2. Kelemahan dan kekurangan orang tidak serta-merta berarti dosa yang pantas diganjar hukuman.

Ya memang Ayub tidak kenal Allah sebagaimana harusnya, ya memang anak-anak Ayub telah menjadi penyuka pesta pora, namun di mata Tuhan hal-hal tersebut tidak mengurangi kualitas Ayub, tidak menjadikan Ayub berdosa.

Cara Tuhan melihat bisa jadi berbeda dengan cara kita melihat.
Kita mudah saja melihat kelemahan dan menyebutnya dosa.
Kita bisa mendakwa diri sendiri maupun orang lain karena kita merasa belum mencapai standar yang kita tetapkan sendiri.
 

Ahhhh, ini pasti karena saya tadi pagi doa singkat saja makanya saya diomelin bos,
Lha siapa yang bilang Tuhan kesal karena saya menyingkat waktu doa pagi? Yakinkah Tuhan begitu sensi?
Trus, apa benar karena menyingkat 30 menit waktu doa maka Tuhan langsung mengganjar saya dengan kegagalan tugas sampai diomeli bos?
Apa benar Tuhan seperti itu?

Saya dan kita semua perlu belajar melihat dari kacamata Tuhan.
Berhenti sejenak menghakimi orang lain, tanya Tuhan dulu barulah kita berbicara.
Saat berbicara, pilih kata-kata, jangan sampai kita menciptakan kesan Tuhan yang transaksional, yang sangat perhitungan, yang pelit, yang mengganjar tidak setimbang kesalahan, juru hukuman.

Semua orang belum ada yang sempurna, jika mau dicari-cari pasti ada kurangnya, pasti ada lemahnya; tapi belum tentu di mata Tuhan dia berdosa hingga layak dihukum.

3. Ketika Tuhan mengizinkan malapetaka tanpa alasan (yes, rupanya Tuhan bisa berbuat begitu), itu bukan karena hukuman/ganjaran/konsekuensi melainkan karena Tuhan hendak menambah berkat orang. 

Tuhan mau expand seseorang, empower, enlarge capacity (biar terdengar hits pakai istilah asing). So kita pause dulu dari tendensi merendahkan orang yang kena malapetaka. Kita pause dulu cari-cari kesalahan. Rencana Allah yang perlu kita cari tau terlebih dulu.

Orang yang kena musibah sangat mungkin levelnya di atas kita; Yusuf kena musibah, Ayub kena musibah, Daud kena musibah, semua orang itu ada pada level di atas kita pada saat mereka kena musibah. Jadi jangan kita pandang seolah level rohani orang yang kena musibah itu sedang di bawah kita.

4. Doakan.
Perkataan Tuhan kepada sahabat-sahabat Ayub menggambarkan apa yang Tuhan kehendaki bagi siapa yang hendak menghibur orang lain.
Jika kita tidak diberi tau Tuhan apa masalahnya, maka kita doakan. Doakan berkat bagi dia.

Tuhan Yesus memberkati.






 

Faith of God

Markus 11:22 Yesus menjawab mereka: "Percayalah kepada Allah!   Konteks dari ayat ini adalah kisah pohon ara yang dikutuk...