Selasa, 14 Februari 2017

Para Penghibur Ayub

Para Penghibur Ayub


Pada waktu saya membaca kisah Ayub, respon yang langsung muncul dalam benak saya adalah apa celah Ayub yang membuatnya mengalami segala malapetaka.

Dari hasil analisis saya, saya temukan 2 sebab utama:

1. Ayub tidak mengenal Allah secara pribadi.
Hal ini dikonfirmasikan ketika Tuhan berbicara langsung pada Ayub, mengkonfrontir Ayub hingga Ayub mengakui ia baru sebatas mengenal Tuhan dari perkataan orang. Ayub bertobat lalu duduk dalam abu dan debu.

2. Ayub gagal mendidik anak-anaknya.
Rupanya anak-anak Ayub suka berpesta pora. Tampaknya Ayub hanya menegur saja, tidak mendisiplin dengan keras. Ayub sendiri yang malah mempersembahkan korban tebusan kepada Tuhan, ia tidak memaksa anak-anaknya melakukannya. Ini contoh orang tua yang tidak tegas mendidik dan menghukum anak-anaknya.

Dua kesalahan di atas adalah celah, cacat dalam karakter Ayub, 'hidden sin' yang hanya Tuhan saja yang tau, yang membuat ujian begitu besar jatuh pada Ayub.
Allah tidak salah, Ayublah yang keliru, hanya Ayub belum menyadarinya.

*
*
*
*
*
Benarkan demikian?
*
*
*
*
*
Rupanya tidak.

Ada kecacatan dalam analisa saya.
Hasil analisa saya berlawanan dengan apa yang Tuhan sendiri katakan tentang Ayub.


Ayub 1:8
Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.


Tuhan bersaksi di hadapan Iblis bahwa Ayub seorang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.
Ayub di mata Allah tidak ada dosanya.

Tunggu, tunggu, tunggu!!


Tidak mungkin ini.
Mana mungkin malapetaka menggeruduk Ayub jika ia tidak berdosa;
Pasti ada celah, ada masalah, ada kejahatan yang terselubung dalam diri Ayub, pasti itu. Mana mungkin ada manusia (pada zaman itu) yang tanpa dosa di mata Tuhan?

Tuhan bersaksi lagi:


Ayub 2:3
Firman TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan


Apa itu yang di bold???

Tanpa alasan.

Saya ulangi,
Tanpa alasan.

Tuhan berkata segala malapetaka yang dijatuhkan pada Ayub terjadi tanpa alasan.
Malapetaka jatuh atas Ayub tanpa sebab-akibat.
Ayub mengalami semua itu bukan karena dia bersalah, bukan karena dia menyimpan dosa, bukan karena cacat karakternya, bukan karena kekurangannya, itu tanpa alasan.

Lalu mengapa saat saya membaca kisah Ayub respon awal saya adalah mencari-cari alasan, mencari-cari kesalahan Ayub yang menyebabkan dia mengalami malapetaka?

Mengapa saya sampai berkata Ayub mengalami musibah karena ia tidak mengenal Allah secara pribadi?
Mengapa saya sampai berkata Ayub mengalami musibah karena ia menjadi ayah yang kurang baik?

*******

Manusia punya kecenderungan mencari sebab-akibat dalam peristiwa,
Kita ingin punya penjelasan rasional atas segala sesuatu.
That's good.
Tuhan ciptakan kita dengan akal-budi untuk dapat menghayati segala sesuatu.
Rasionalisasi adalah karunia Tuhan bagi kita.

Namun jika segala musibah akan selalu kita hubungkan dengan dosa/kesalahan, hati-hati bila kita mulai menghakimi, terlebih hati-hati kalau kita mulai mendakwa.

Sebagai seorang yang berjemaat di aliran karismatik, saya sering dapat masukan (termasuk kritik bagi diri saya sendiri) bahwa orang karismatik cenderung memojokkan orang, istilah lainnya menyalahkan orang lain.

Jika ada orang yang sakit, pertama-tama kita sidik apa dosa-dosanya sehingga ia bisa sakit.
Jika kita dengar suatu dosa/kesalahan, maka kita mudah saja berkata: 'Itu dia salahnya. Harusnya kamu nggak begitu. Harusnya kamu begini. Makanya kamu sakit.'

Jika ada orang sakit yang kita nasihatkan untuk berdoa lalu ia tidak sembuh, ia meninggal, maka kita mudah saja berucap: 'Dia kurang beriman, andaikan dia lebih beriman, ia pasti akan sembuh.' (catatan kritis:padahal bisa aja yang mendoakannyalah yang salah berdoa, hanya dia nggak suka akui itu, dia lebih suka nyalahin orang lain)

Jika ada orang kena musibah keuangan, sangat mungkin terdengar komentar: 'Bagaimana persepuluhanmu? Kamu pasti ada kurang bayar, ayo bunga dan hadiah apa udah dipersepuluhin? Ayo beri.'

Jika ada orang yang anaknya kena masalah, cetusan ini barangkali terdengar: 'Kamu kurang mendoakan, kamu kurang membangun mezbah, kamu harus lebih sering berdoa.'

Jika sang lawan bicara mengelak, maka kita bisa jadi terus mendesak: 'Masih kurang, yang kamu lakukan masih kurang, ayo lebih lagi!' atau kita akan ganti haluan mencari alasan-alasan lain yang bisa jadi penyebab musibah.

Pokoknya, Tuhan tidak akan salah, orang yang mengalami musibah pasti ada aja salahnya.

Kita Ayub memberikan cermin akan sikap kita.
Apakah kita akan menghakimi dan mendakwa Ayub? Pasti ada salah/cacat/kekurangan/kelemahan Ayub yang menyebabkan ini semua?
Ataukah kita akan memperhatikan ucapan Tuhan sendiri bahwa Ayub tidak berdosa dan mengalami malapetaka tanpa alasan.

Inilah juga yang ada di benak kawan-kawan Ayub ketika mereka datang menghibur Ayub.
Kawan-kawan Ayub datang ke sana untuk menemani Ayub, maksud mereka baik namun dalam paradigma agamanya mereka berpikir segala malapetaka ini pasti disebabkan sesuatu dalam diri Ayub.

Mereka bertukar argumen dengan Ayub, lambat-laun mereka mendesak agar Ayub mengakui kekurangan dan kesalahannya.
Dalam upaya mereka membela Tuhan dan membantu Ayub, mereka tanpa sadar mempromosikan citra Allah yang hitung-hitungan, yang menuntut, yang mengganjar dengan keras.

Jika saya pikir-pikir, kesalahan apa sih yang mungkin Ayub lakukan hingga ia menderita segala malapetaka itu hanya dalam 2 malam?
Tidak masuk akal. Kesalahan apa sih yang bisa membuat Allah menjatuhkan konsekuensi seberat itu?
Apakah Allah sesadis itu?

Saya introspeksi juga,
Ketika saya membesuk seseorang yang mengalami musibah lalu saya mulai menyidik perkaranya, apa yang saya cari?
Saya akan mencari kesalahan apa orang ini buat hingga musibah terjadi.
Saat saya temukan, semangat saya akan timbul karena saya punya modal solusi untuk dia, jika dia ngeyel dengan penjelasan saya maka saya akan argue dengan dia.

Inilah sahabat-sahabat Ayub dan saya juga.

Di akhir debat antara Ayub dan para penghiburnya, Tuhan berkata:
 

Ayub 42:7-8
Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Teman: "Murka-Ku menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.
Oleh sebab itu, ambillah tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan dan pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub." 


Ayub bersikukuh kepada sahabat-sahabatnya bahwa ia tidak bersalah, bahwa segala malapetaka ini tidak terjadi atasnya karena dosa atau kesalahan.
Di sisi lain, sahabat-sahabatnya mempromosikan keadilan Allah dan kesucian Allah, bahwa tidak mungkin segala malapetaka ini turun tanpa alasan dari pihak Ayub.

At the end, argumen Ayublah yang Tuhan terima, argumen kawan-kawannya sekalipun terdengar meninggikan Allah justru tidak diterima.

Inilah pelajaran bagi saya, ada saatnya ketika saya mendesak orang, menyalahkan orang, mencari-cari kesalahan, Tuhan justru tidak suka.
Saya mengambil posisi sebagai pendakwa padahal saya datang untuk menghibur, daripada meringankan beban orang saya malah menambah beban pikiran dia, solusi yang saya berikan justru memperlemah imannya.

Para sahabat Ayub dan juga saya telah mengerjakan godaan Iblis; Iblis gagal dengan malapetaka, Iblis gagal dengan hasutan istri Ayub, Iblis coba lagi melalui dakwaan teman-teman Ayub.

Jadi bagaimana teman-teman?
Ada beberapa pemikiran yang muncul di benak saya terkait kisah Ayub:
 

1. Malapetaka ini turun atas Ayub bukan karena kesalahan Ayub, bukan karena kelemahan dan dosa Ayub.
Ya, Iblis masuk saat anak-anak Ayub pesta pora, mungkin yang kedua kalinya di saat isterinya bersungut-sungut; namun bukan karena salahnya Ayub. Berhentilah menyalahkan Ayub.

Saat kita datang membesuk orang untuk meringankan beban mereka, ada baiknya kita menahan diri untuk menuduh dan mendakwa dari standar pikiran kita sendiri. Mungkin kita perlu berdoa dulu, diskusi dengan Tuhan dulu apa masalahnya dan bagaimana solusinya. Jangan sampai ucapan yang maksudnya baik malah membebani orang apalagi sampai Tuhan tidak berkenan. Jangan menghakimi sepintas lalu dengan informasi seadanya. Bukankah Roh Kudus bersama kita?

2. Kelemahan dan kekurangan orang tidak serta-merta berarti dosa yang pantas diganjar hukuman.

Ya memang Ayub tidak kenal Allah sebagaimana harusnya, ya memang anak-anak Ayub telah menjadi penyuka pesta pora, namun di mata Tuhan hal-hal tersebut tidak mengurangi kualitas Ayub, tidak menjadikan Ayub berdosa.

Cara Tuhan melihat bisa jadi berbeda dengan cara kita melihat.
Kita mudah saja melihat kelemahan dan menyebutnya dosa.
Kita bisa mendakwa diri sendiri maupun orang lain karena kita merasa belum mencapai standar yang kita tetapkan sendiri.
 

Ahhhh, ini pasti karena saya tadi pagi doa singkat saja makanya saya diomelin bos,
Lha siapa yang bilang Tuhan kesal karena saya menyingkat waktu doa pagi? Yakinkah Tuhan begitu sensi?
Trus, apa benar karena menyingkat 30 menit waktu doa maka Tuhan langsung mengganjar saya dengan kegagalan tugas sampai diomeli bos?
Apa benar Tuhan seperti itu?

Saya dan kita semua perlu belajar melihat dari kacamata Tuhan.
Berhenti sejenak menghakimi orang lain, tanya Tuhan dulu barulah kita berbicara.
Saat berbicara, pilih kata-kata, jangan sampai kita menciptakan kesan Tuhan yang transaksional, yang sangat perhitungan, yang pelit, yang mengganjar tidak setimbang kesalahan, juru hukuman.

Semua orang belum ada yang sempurna, jika mau dicari-cari pasti ada kurangnya, pasti ada lemahnya; tapi belum tentu di mata Tuhan dia berdosa hingga layak dihukum.

3. Ketika Tuhan mengizinkan malapetaka tanpa alasan (yes, rupanya Tuhan bisa berbuat begitu), itu bukan karena hukuman/ganjaran/konsekuensi melainkan karena Tuhan hendak menambah berkat orang. 

Tuhan mau expand seseorang, empower, enlarge capacity (biar terdengar hits pakai istilah asing). So kita pause dulu dari tendensi merendahkan orang yang kena malapetaka. Kita pause dulu cari-cari kesalahan. Rencana Allah yang perlu kita cari tau terlebih dulu.

Orang yang kena musibah sangat mungkin levelnya di atas kita; Yusuf kena musibah, Ayub kena musibah, Daud kena musibah, semua orang itu ada pada level di atas kita pada saat mereka kena musibah. Jadi jangan kita pandang seolah level rohani orang yang kena musibah itu sedang di bawah kita.

4. Doakan.
Perkataan Tuhan kepada sahabat-sahabat Ayub menggambarkan apa yang Tuhan kehendaki bagi siapa yang hendak menghibur orang lain.
Jika kita tidak diberi tau Tuhan apa masalahnya, maka kita doakan. Doakan berkat bagi dia.

Tuhan Yesus memberkati.






 

Tidak ada komentar:

Faith of God

Markus 11:22 Yesus menjawab mereka: "Percayalah kepada Allah!   Konteks dari ayat ini adalah kisah pohon ara yang dikutuk...