Senin, 07 Agustus 2017

Penyembah Yang Benar Pastilah...




Yoh 4:20-24
Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah."
Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." 

Ada 2 makna yang hendak saya bahas atas nas ini.

Pertama, 
Apakah yang dimaksud dengan '...dalam roh dan kebenaran'?

Untuk membahas ini, kita bisa mengambil sudut pandang antonim alias lawan kata.

Latar belakang kisah ini, 

Yesus Kristus sedang bicara dengan seorang perempuan Samaria tentang doa.
Perempuan ini kemudian membandingkan antara menyembah Allah di gunung vs menyembah Allah di Yerusalem.

Perempuan Samaria itu mempunyai paradigma bahwa menyembah Allah wajib dilakukan memenuhi syarat-syarat spesifik seperti lokasi fisik, urutan protokoler, persembahan yang harus dibawa beserta aturan-aturan lain yang lazim berlaku pada masa tersebut.


Di zaman itu, ketika khalayak hendak beribadah entahkah ke gunung atau ke Bait Suci Yerusalem, mereka wajib memenuhi serangkaian syarat dan ritual.

Seluruh aktivitas ritual dilakukan sepihak oleh manusia agar Allah melihat dari sorga dan berkenan kepada mereka.

Tuhan berkata:
Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal...

Dalam perkataan itu, Tuhan mengoreksi paradigma ibadah yang terdiri dari ritual-ritual dan syarat-syarat harafiah/jasmaniah namun tidak benar-benar mengandung dinamika dengan Allah.

Orang Yahudi/Samaria menyembah Allah berdasarkan apa yang mereka pelajari dari teks, berdasarkan kebiasaan, berdasarkan apa yang mereka pikir akan diterima Allah.
Segala aktivitas itu berjalan sepihak, dari manusia kepada Allah, tidak ada interaksinya, tidak ada dinamikanya sehingga memperkecil kemungkinan seseorang dapat mengenal Allah dalam level personal.

Dengan kata lain, seluruh umat awam Yahudi memiliki tingkat pengetahuan dan pengenalan akan Allah yang kira-kira sama jika mereka semua semata melakukan ritual yang sama.


Sekalipun orang Samaria menyembah Allah di gunung sebagaimana tradisi ratusan tahun dan sekalipun orang Yahudi menyembah Allah di Yerusalem sebagaimana perintah Taurat, namun mereka tidak benar-benar berhasil mengenal Allah.

Yang berhasil mengenal Allah hanya segelintir orang yang diurapi Allah sebagai Raja, Imam, Hakim-hakim atau Nabi.

Secara antonim, lawan kata dari spirit adalah flesh/daging.

Jika disambungkan dengan konteks, maka menyembah dalam roh dan kebenaran bukanlah menyembah menurut ukuran-ukuran atau syarat-syarat lahiriah yang pada hakekatnya berjalan sepihak dan tidak memberikan dinamika hubungan interaktif dengan Allah yang spiritual. 

Spiritualitas itu tidak ada batasannya, tidak ada rumusannya, tidak seperti daging yang statis. 
Jadi menyembah dalam roh dan kebenaran artinya berinteraksi dengan Allah secara dinamis.

Pintu itu terbuka, Bung!

Mungkin ada orang berkata,
'Hei, Gereja kami sudah mengatur liturgi doa, pujian, penyembahan. Inilah model yang Allah sukai, yang sudah berjalan dari abad-ke-abad, warisan turun-temurun, Allah sudah pasti berkenan jika kita menjalankan tepat sebagaimana yang tertulis.'

Hei jugaaaa,
Tuhan Yesus berkata:
...bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.

Tuhan Yesus sedang membahas ritual penyembahan multi-lapis yang diatur di Taurat,
Tuhan Yesus sedang membahas rangkaian hari-hari raya di Yerusalem yang Tuhan tetapkan sendiri,
Tuhan Yesus sedang membahas tulisan-tulisan yang Allah sendiri sampaikan kepada Musa,
Lalu Tuhan Yesus berkata:
'Bukan, bukan itu lagi. Tidak seperti itu lagi. Saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang yang baru dan berbeda. Yang dulu itu dilakukan ribuan tahun dan kamu tetap menyembah apa yang tidak kamu kenal.'

You see, segala sesuatu yang statis (sekalipun pada masa lalu otentik berasal dari Tuhan sendiri) sudah out-dated, sudah kuno, sudah berlalu jika ritual tersebut tidak membawa seseorang mengenal Allah sampai level personal.

Spirit (roh) itu tidak memiliki bentuk, tidak ada rumusnya, tidak ada metode bakunya, namun nyata impact-nya.

Hal ini membawa kita melangkah lebih lanjut pada bagian kedua.

********

Kedua, 
Apa maksudnya penyembah-penyembah yang benar?

Saya amazed dengan pemilihan kata yang Tuhan lakukan:

Bapa mencari penyembah yang benar, bukan mencari 'penyembahan yang benar'.


Kapan-kapan ketika orang bertanya mengenai nas ini, maka yang mereka tanya adalah:

'Apa dan bagaimana sih penyembahan yang benar itu?'
'Gimana sih caranya menyembah yang bikin Tuhan senang?'
'Apa ya kiatnya agar penyembahan kita berkenan dan diterima Tuhan?'

Penyembahan itu fokus pada rumus, metode, lokasi, cara, benda, barang sampai rangkaian aktivitas.

Yang ada di pikiran penanya adalah:
'Ketika saya sedang melakukan aktivitas penyembahan, apa yang harus saya lakukan agar penyembahan saya diterima dan berkenan kepada Tuhan?'


Jawabannya jelas: Kamu kudu begini-begini saat sedang nyanyi, ucapkan dahulu ini-ini ketika memulai doa, hatimu harus seperti ini-ini sebelum mulai aktivitas, posisi tubuh usahakan begini. pilih lokasi yang begini-begini supaya konsen, dan lain setaranya.

Jangan salah, Tuhan Yesus juga memberi rumus.
Rumus Tuhan:
...penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran

Anda mau menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran?
Anda mau mengenal Bapa secara dinamis interaktif?


Rumus Tuhan:
Jadilah penyembah yang benar, maka Anda otomatis menyembahNya dengan benar.

Jika Anda adalah penyembah yang benar, maka apapun yang Anda lakukan pastilah menjadi penyembahan yang benar. Apapun itu.
Anda bekerja adalah menyembah, Anda duduk adalah menyembah, Anda diam adalah menyembah, Anda bicara dengan kawan juga menyembah, Anda tidur pun menyembah, apapun yang Anda lakukan adalah menyembah jika Anda adalah penyembah yang benar.

Penyembahan yang benar bukan lagu, bukan suara, bukan nyanyian, bukan doa, bukan sorak-sorai, bukan saat di gedung gereja, bukan pada saat teduh saja, tapi segala hal yang Anda lakukan adalah penyembahan yang benar jika Anda adalah penyembah yang benar.

Fokuslah menjadi penyembah yang benar, bukan (sesekali saat tertentu) memberikan penyembahan yang benar.

Menjadi penyembah yang benar berfokus pada hubungan interpersonal, pada proximity (kedekatan) dan konsistensi.

Yes, itulah yang sulit. Saya pun mengalami bahwa itu sangat sulit.

Konsistensi.

Saya juga maunya sesekali memberikan penyembahan yang intim, yang intens, yang dalam, yang memuaskan,

Tapi sesekali memberi penyembahan tidak menjadikan seorang penyembah yang benar.

Penyembah itu konsisten, tekun, terus-menerus dalam roh dan kebenaran.
Artinya, konsisten, tekun, terus-menerus membangun hubungan interaktif yang dinamis dengan Tuhan secara personal. Di dalamnya termasuk konsisten, tekun, terus-menerus hidup benar.

Ya, setiap waktu, setiap teringat oleh kita maka kita berbicara kepada Tuhan, bicarakanlah tentang apapun juga, jangan menahan diri, jangan memisah-misahkan mana topik untuk Tuhan mana topik yg Tuhan tidak suka. Bicara saja kepada Tuhan.
Lambat-laun kita akan mulai (secara tidak sadar) berbicara dengan Tuhan. Tidak selalu audible tentunya, tapi roh kita bisa menangkap sinyal-sinyal dari Tuhan, suatu dorongan halus di hati kita yang mengarahkan kita melakukan apa yang Tuhan mau. Itulah penyembahan yang benar

Penyembahan yang benar adalah melakukan kehendak Tuhan. 
Ketika seorang melakukan keinginan Tuhan, itulah penyembahan. 
Ketika seorang konsisten melakukan keinginan Tuhan, dialah Penyembah yang benar.

Maka termasuk di dalam definisi penyembah yang benar adalah seorang yang konsisten berusaha berbuat sesuai keinginan Tuhan.

Mohon maaf kepada para penganut 'extreme-grace', 
Anda mungkin tidak suka membaca kata-kata 'berusaha hidup benar', 
Anda mungkin lebih suka kalimat 'hidup normal saja, nanti Tuhan yang otomatis membuatmu hidup benar'. 
Anda mungkin paranoid kalimat 'berusaha' identik dengan orang meragukan keselamatannya.
Di artikel ini saya terpaksa menggunakan kalimat 'berusaha hidup benar'.

Lakukanlah perbuatan baik dan benar yang Anda bisa lakukan, Tuhan menghargai dan menyukai itu.
Lakukan bukan karena Anda mengejar keselamatan, keselamatan itu sudah milik Anda.
Lakukan karena Anda ingin lebih mengenal Dia, Anda ingin lebih menyelami jalan-jalanNya, Anda ingin lebih menggali hatiNya, Anda ingin terlibat dalam rencanaNya.

Jika Anda menyukai seseorang dan Anda berusaha melakukan apa yang ia lakukan, maka Anda akan mulai mengenal sisi orang itu yang tidak ia tampilkan sembarangan.  
Kita bisa saja mengenal Tuhan secara umum, namun jika Anda mulai berusaha melakukan apa yang Ia inginkan, melakukan apa yang baik dan benar sambil berinteraksi dengan Dia, maka Anda akan mulai mengenal Dia lebih mendalam.

Penyembah yang benar bukan soal rumus atau metode,
Menjadi penyembah yang benar adalah soal hubungan dan upaya konsisten kepada Dia dan bersama Dia.

Kembali pada judul,
Penyembah yang benar pastilah menyembah Dia dengan benar dalam apapun yang dilakukannya.

Tuhan Yesus memberkati.






Minggu, 06 Agustus 2017

Catatan Soteriologi: Dari Agustinus Sampai Arminius




Berikut apa yang saya pahami dari ajaran Agustinus sampai Arminius berdasarkan tinjauan pustaka.
Mohon masukan dan koreksi apabila pemahaman saya kurang tepat atas apa yang mereka maksudkan.


******** 

Opening Notes

Teori/doktrin keselamatan dibuat oleh manusia berdasarkan pemahaman atas Alkitab.
Alkitab yang multi-dimensional dibaca, dianalisis dan ditafsirkan oleh pikiran manusia yang terbatas.
Pikiran manusia tersebut mungkin saja diinspirasi oleh Roh Kudus, diberikan hikmat dari atas dan diberikan karunia untuk memahami, namun the-vessel tetaplah manusia yang punya keterbatasan dan beliefs tertentu.
 

Ketika hasil ajaran manusia tersebut dibaca ulang oleh manusia lain, maka orang lain itu akan menafsirkan dengan hikmatnya sendiri dan dengan segala existing beliefs di pikirannya, makanya tidak heran kita jumpai multi-tafsir terhadap ayat-ayat Alkitab yang sama.

Saya meyakini hingga saat ini belum ada seorangpun yang bisa klaim bahwa ia telah memahami seluruh kebenaran tentang keselamatan.
Ia memahami sesuai porsi hikmat
yang Allah berikan kepadanya dan dibutuhkan manusia lain untuk menyempurnakan pemikirannya.

Saya akan coba menulis apa yang saya pahami seputar doktrin keselamatan yang selama ini beredar di gereja-gereja barat (Katolik Roma, Lutheran, Reformed, Methodist, Pentakosta, Karismatik dan turunan-turunannya) yang bisa dirunut ke belakang kepada tulisan Santo Agustinus dari Hippo (Augustine of Hyppo). 


Augustine of Hyppo 

Fase 1

Agustinus meyakini manusia diciptakan dengan free will.
Adam dalam freewill-nya jatuh dalam dosa dan mewariskan original sin pada keturunannya.
Original sin adalah cacat karakter, yaitu tendensi untuk berbuat dosa plus guilt (dosa itu sendiri).
Jadi setidak-tidaknya setiap orang
yang lahir yaitu semua keturunan Adam telah memiliki 1 dosa asal (dosa waris) yang diwariskan oleh adam. 

Note, original sin sedikit berbeda dengan ancestral sin (konsep yang dikenal orthodox dan gereja-gereja timur pada umumnya, yaitu minus guilt: Adam hanya mewariskan cacat karakter tapi tidak mewariskan dosa).

Adanya original sin membuat free will manusia menjadi cacat sehingga manusia berkecenderungan kehendak untuk berbuat dosa.
Walau manusia masih bisa berbuat
yang baik, namun kekuatannya terbatas, seperti orang yang berenang melawan arus lautan.
Ia bisa saja melawan arus, namun tidak akan pernah sampai ke daratan, itupun tergantung seberapa disiplin ia telah berlatih untuk berenang.
 

Free will menjadi cacat meski tidak sama sekali hilang,
Karena itu manusia tidak mungkin bisa memperoleh, membeli atau mengusahakan kselamatan bagi dirinya sendiri.
Manusia harus mendapatkan grace.
Tuhanlah
yang berinisiatif memberikan grace.

Grace ini diberikan pada semua manusia dan pengorbanan Kristus adalah untuk semua manusia,
Namun begitu manusia bisa memilih untuk menerima atau menolak grace.

Nah, ini menariknya,
Tuhan dalam kemahatahuannya, tanpa terikat pada sekuens waktu, mengetahui sebelumnya (foreknew) siapa saja
yang akan menerima dan menolak grace tanpa Ia menentukan sebelumnya (predetermine) siapa yang menerima dan siapa yang menolak.

Kepada sebagian yang Ia foreknew akan menerima grace, itulah yang disebut golongan terpilih (elected).
The elected ini menerima grace demi grace, dan semua grace itu enable mereka untuk terus bertumbuh hingga pemuliaan.


Jadi Agustinus meyakini Tuhan memilih sebagian orang yang selamat, namun pemilihan didasarkan foreknowledgeNya akan interaksi antara grace dan free will.

Inilah predestination versi Agustinus.
Orang-orang pilihan ini sudah pasti selamat namun hanya Tuhan
yang tau siapa saja orang-orang terpilih ini. Manusia tidak ada yang tahu, manusia hanya bisa menduga saja.

Ini adalah pengajaran fase pertama Agustinus. 

Fase 2 

Agustinus kemudian mendapat tantangan dari Pelagius dan ia menghadapinya dengan gagah berani. 

Dalam debat dengan Pelagius, Agustinus memberikan penekanan lebih besar pada God's election, pada grace yang Allah berikan dan mereduksi peran free will manusia.

Agustinus memberi penekanan ekstra pada aspek kuasa dan kedaulatan pemilihan Tuhan demi melawan paham Pelagianisme
yang menekankan peran free will untuk mencapai keselamatan.
Inilah fase kedua pengajaran Agustinus. 


Fase kedua ini menjadi referensi bagi banyak pengajaran keselamatan di dunia Protestan.


Katolik Roma 

Pengajaran Agustinus dan Santo Thomas Aquinas berkontribusi sangat besar dalam membentuk doktrin keselamatan gereja Katolik Roma.

Doktrin keselamatan gereja Katolik Roma diringkas sebagai berikut:

Tuhan menetapkan predestinasi umat pilihan (elected)
yang pasti diselamatkan,
Dasar predestinasi ini adalah foreknowledge Tuhan atas grace
yang secara inisiatif diberikan oleh Tuhan dan freewill manusia yang meresponnya. Mereka yang dengan freewill menerima grace adalah kaum elected.
Grace tersebut (bagi yang menerimanya) kemudian bertambah-tambah melahirkan works dan pada akhirnya menghasilkan pemuliaan.

Kristus wafat dan menebus seluruh umat manusia namun manusia bisa memilih untuk menerima atau menolak Dia.
Tuhan tidak secara aktif menetapkan (determined) siapapun pada kebinasaan.
Selama manusia hidup di bumi, tanpa wahyu khusus, ia tidak akan tau apakah dia umat pilihan atau tidak, namun iman pada Kristus dan ketaatan dalam ketekunan dapat memberikan kepastian moral pada diri seseorang bahwa ia diselamatkan. 



Pelagianism 

Pelagius menolak original sin dan menolak konsep predestinasi.
Pelagius merasa konsep predestinasi ala Agustinus dapat menyebabkan umat Tuhan kurang termotivasi menaati norma hukum karena umat merasa tidak bisa dan tidak perlu berbuat apa-apa terhadap pemilihan Tuhan (jika Tuhan sudah memilih untuk apa manusia berusaha).


Pelagius meyakini manusia pada dasarnya baik dan mmiliki free will yang baik.
Manusia lahir bersih sebagaimana adam dahulu diciptakan sehingga memiliki peluang untuk menerima atau menolak Tuhan tanpa memerlukan inisiatif grace dari Tuhan.


Malah, grace dari Tuhan adalah respons Tuhan terhadap freewill manusia yang ingin memilih Dia.
Ajaran Pelagius ditentang oleh Agustinus dan akhirnya ditetapkan sebagai bidah pada konsili Kartago tahun 418. 



Semi-Pelagianism 

Semi Pelagian sedikit berbeda dari Pelagianism.
Mereka tidak menolak original sin,
Namun mereka di sisi lain meyakini manusia bisa berinisiatif mencari Tuhan,
Dari inisiatif ini kemudian Tuhan memberikan grace
yang menyelamatkan manusia. 
Tanpa grace itu manusia tidak mungkin selamat.
 

Semi-Pelagianism meyakini bahwa hasrat dan tindakan manusia untuk mencari keselamatan dapat menarik hati Tuhan agar Ia memberikan grace.

Doktrin ini kemudian ditetapkan sebagai bidah pada konsili Orange tahun 529. 

Pelagianism dan Semi-Pelagianism ditolak Gereja karena mereka mempromosikan potensi usaha manusia untuk mencapai Allah.

Agustinus juga pada awalnya mempromosikan freewill manusia yang merespon inisiatif grace dari Tuhan, namun dalam perlawanannya terhadap Pelagianism maka Agustnius kemudian menekankan inisiatif Allah, kekuatan grace yang menyelamatkan dan mengecilkan peran freewill manusia.



Lutheranism 

Nah, kita tau tentang fase kedua doktrin Agustinus ketika ia menekankan pemilihan Tuhan demi melawan penekanan free will ala Pelagian.
Fase kedua dari doktrin Agustinus ini kemudian menimbulkan interpretasi
yang berbeda bagi mereka yang terlibat dalam Reformasi Protestan.

Martin Luther dan pengikutnya dalam Lutheranisme meyakini konsep single predestination.
Yaitu karya Kristus berlaku untuk semua orang, namun Tuhan hanya menetapkan sebagian saja orang untuk selamat


Bagaimana dengan sisanya?
Martin Luther menolak memberikan judgment apapun mengenai mereka yang tidak Tuhan pilih untuk selamat, apakah mereka akhirnya binasa atau tidak Martin Luther tidak menjelaskannya. Martin Luther beralasan karena hal ini tidak dterangkan oleh Alkitab.
Martin Luther menolak gagasan bahwa Allah secara aktif menetapkan orang untuk binasa.


Alkitab hanya berbicara tentang predestinasi bagi mereka yang diselamatkan, tidak menjelaskan predestinasi kebinasaan, sehingga Martin Luther menolak berkomentar tentang hal itu. 



Calvinism 

Di sisi lain, seorang teolog Belanda bernama John Calvin menginterpretasikan doktrin Agustinus dengan lebih ekstrim.

Calvin memberikan penekanan penuh pada kedaulatan Tuhan dan menihilkan freewill manusia.
Allah tidak memilih manusia berdasarkan works yang lahir dari freewill, tidak juga berdasarkan atas jasa, tidak juga atas dasar foreknowledge,
Allah memilih hanya atas kedaulatanNya saja (unconditional election).


Calvin meyakini konsep double predestination,
Yaitu Tuhan menetapkan secara berdaulat sebagian orang yang diselamatkan dan sebagian sisanya untuk binasa.


Calvin kemudian mengembangkan doktrin TULIP,

(T) Total depravity berarti freewill manusia sedemikian rusaknya sehingga tidak mungkin bisa mencari Tuhan,
Manusia tidak mungkin mampu mencapai Allah, bahkan mengenal Allah pun tidak bisa.
Manusia mati rohani secara mutlak.


(U) Unconditional election berarti Tuhan tanpa syarat memilih sebagian manusia untuk selamat, sisanya dilewatkan untuk binasa. 

(L) Limited atonement berarti karya Kristus dan grace dari Roh Kudus hanya diberikan untuk orang-orang pilihan (elected), bukan untuk seluruh dunia.

(I) Irresistible grace artinya Roh Kudus memberikan saving grace yang tidak mungkin dapat ditolak oleh mereka yang sudah dipilihNya dari semula.

(P) Perseverance of saints berarti Tuhan menjaga dan memastikan umat pilihan untuk mempertahankan iman hingga kesudahannya.
 

Dari sinilah konsep OSAS terbentuk, Once Saved Always Saved berlaku bagi para umat pilihan, sementara yang tidak dipilih will never able to be saved.

Dalam Calvinisme, mereka yang tergolong umat pilihan dipastikan oleh Allah untuk berbuah. Tidak mungkin umat pilihan akan hidup berlawanan/tidak sesuai dengan norma kristiani hingga akhir hayatnya.

Di sisi lain, sebagaimana doktrin Katolik,
John Calvin tidak mampu menjelaskan siapa-siapa saja
yang termasuk umat pilihan Tuhan dan apa tanda-tanda pasti bahwa seseorang adalah umat pilihan. Hal itu misteri yang hanya diketahui Allah sendiri.

Dalam Calvinism, mereka 100% yakin keselamatan tidak dapat hilang namun tidak ada kepastian nyata bahwa mereka termasuk dalam umat pilihan itu.

Jemaat meng-iman-i bahwa mereka adalah umat pilihan dan berupaya menampilkan etos hidup yang selaras dengan gambaran ideal umat pilihan Allah.
Apakah nyatanya mereka umat pilihan, hanya dapat dilihat pada akhir hidup mereka, apakah ke sorga atau neraka. 



Reformed 

Nah, ada pula doktrin Reformed, yang diyakini gereja-gereja Reformed.
Penganutnya meyakini bahwa mereka lebih akurat dalam menginterpretasikan doktrin Agustinus dan doktrin Calvin.


Mereka sepakat dengan pendapat Agustinus bahwa Adam dikaruniakan free will, namun keturunan Adam (sesudah Adam berdosa) mewarisi freewill yang totally depraved.
Adam adalah satu-satunya manusia yang mampu memilih apa yang baik dari apa yang jahat, namun sesudah ia jatuh dalam dosa tidak satupun keturunannya yang mampu memilih apa yang baik. Semua berkecenderungan memilih yang jahat.

Dosa Adam menyebabkan seluruh manusia berjalan menuju kebinasaan.
Tuhan kemudian dengan kedaulatanNya memilih sebagian (dari
yang akan binasa tersebut) untuk diselamatkan, sisanya dilewatkan sehingga mereka tetap menuju kebinasaan.

Pemilihan ini unconditional dan merupakan kasih karunia semata.
Manusia binasa karena dosa Adam, namun sebagian diselamatkan oleh kasih karunia Allah.

Kaum Reformed memandang diri mereka sebagai penganut single predestination (walau beda isinya dengan Lutheranism).
Mereka meyakini TULIP sebagaimana Calvinism.
Mereka menganggap doktrin Classical Calvinism (
yang saya tulis sebelum ini) sebagai hypercalvinism (interpretasi yang salah terhadap Calvinism).

Doktrin ini diyakini oleh majority gereja protestan di dunia, termasuk di Indonesia. 



Arminianism 

Seorang imam asal belanda bernama Jacobus Arminius tidak sependapat dengan sudut pandang Calvin.
Sesudah Arminius meninggal dunia, para pengikutnya (kaum Remonstrants) kemudian mengembangkan dan mempopulerkan doktrin Arminianism.


Arminianism sependapat dengan predestinasi ala Agustinus bahwa Tuhan menetapkan umat pilihan berdasarkan foreknowledge atas interaksi grace dan freewill manusia.

Jadi kita lihat disini bahwa Calvin dan Arminius memiliki interpretasi yang berbeda atas tulisan seorang Agustinus.

Konsep Arminianism kira-kira adalah sebagai berikut:
 

Total depravity berarti freewill manusia sedemikian rusaknya sehingga tidak mungkin bisa mencapai keselamatan.
Manusia tidak mungkin mampu mencapai Allah bahkan mengenal Allah pun tidak bisa.
Manusia mati rohani.


Conditional election berarti Tuhan memilih menyelamatkan orang percaya, artinya Tuhan foreknew siapa saja yang akan menerima grace dan siapa yang akan menolak.

Unlimited atonement artinya karya Kristus dan grace dari Roh Kudus diberikan untuk seluruh dunia.

Resistible grace artinya Tuhan memberikan prevenient grace, yaitu sebuah grace yang akan memulihkan dan membebaskan freewill manusia (kembali ke kondisi Adam sebelum berdosa), dalam kondisi tersebut manusia memiliki pembebasan penuh dari total depravity agar ia dapat memilih apakah mau percaya atau tidak, mau menerima grace atau tidak.
Grace ini walau sangat poweful untuk membebaskan manusia namun manusia masih dapat menolaknya, Tuhan tidak memaksakan grace ini.

Conditional security of saints brarti manusia masih bisa dengan freewill-nya memutuskan untuk melepaskan keselamatannya.

Arminianism membuka kemungkinan keselamatan bisa hilang karena faktor free will manusia, namun semua ini sudah terlebih dahulu di foreknew Allah sebelum Ia melakukan pemilihan. 


Gereja Methodist, Wesleyan, majority gereja pentekosta dan karismatik meyakini arminianism.  


Closing Notes 

Jika boleh saya berpendapat,
Semua doktrin ini disusun manusia sesuai dengan hikmat mereka masing-masing.


Agustinus adalah philosopher yang setanding Plato dan Aristoteles.
Agustinus banyak menuangkan gagasan filosofis logis dalam tulisannya, beberapa diantara gagasan tersebut tidak secara hurufiah/literally tercantum di Alkitab.


Gagasan soal foreknowledge yang beriringan dengan freewill misalnya, hal itu tidak secara eksplisit ada di Alkitab.
Gagasan itu adalah jalan kluar logis
yang terpikir oleh Agustinus untuk merekonsiliasikan tulisan alkitab tentang predestinasi dan freewill.

Nah, tulisan Agustinus kemudian dibaca dan diinterpretasi oleh Aquinas, Luther, Calvin dan Arminius.

Masing-masing dengan hikmatnya menyusun doktrin yang tentu dipengaruhi beliefs-nya sendiri-sendiri.
Para pengikutnya kemudian mengembangkan doktrin-doktrin tersebut sesuai hikmatnya masing-masing, jadilah kita memiliki banyak doktrin tentang soteriologi.


Gereja masa kini lalu mengajarkannya kepada jemaat (dan ditambahkan label 'inilah pengajaran yang Alkitabiah').

Sepanjang saya membaca semua itu, saya lihat semuanya Alkitabiah, semua ada dasarnya di Alkitab, namun bukan semuanya 100% kebenaran karena semua menambahkan/menyelipkan logika/reasoning pribadi dalam penafsirannya.

Saya pun begitu, saya pasti menyelipkan logika saya ketika saya membaca sesuatu, dalam tulisan inipun campur tangan logika saya akan terlihat.
Interpretasi saya pasti akan berbeda dengan logika orang lain yang membaca tulisan Agustinus & Calvin.


Misalnya,
Ayat bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan,
Agustinus, Aquinas, Arminius dan Luther menafsirkan bahwa kematian Kristus adalah untuk semua orang (tanpa kecuali), namun Calvin dan Reformed menafsirkan ayat itu hanya berlaku untuk semua 'org pilihan'.


Yang bikin orang bertengkar itu bukan Alkitabnya, tapi penafsiran dan interpretasi atas Alkitab tersebut, karena hikmat orang itu berbeda-beda.

Semakin lama saya baca Alkitab, semakin saya meyakini Allah sengaja mendesain Alkitab sedmikian rupa sehingga mampu menyampaikan ragam pesan yang berbeda sesuai batas hikmat pembacanya.

Jika seorang baru bertobat dan sedang bernyala-nyala bagi Tuhan, dia akan melihat kasih karunia di balik sebagian besar ayat.
Jika seorang ogah-ogahan terhadap Tuhan, dia akan melihat peringatan keras di balik ayat-ayat
yang sama.
Jika ada yang berusaha memutlakkan bahwa suatu ayat hanya bicara soal grace saja atau hanya teguran saja, maka itulah yang akan menuntun pada perdebatan.


Misalnya ayat:  
Jika kita mengampuni maka Bapa juga akan mmgampuni,  
Bagi penganut radical grace, mereka berusaha sedemikian rupa menafsirkan bahwa ayat ini tidak ditujukan pada orang kristen melainkan bagi penganut taurat Yudaisme (karena mereka hendak menekankan doktrin dosa sudah diampuni dahulu, sekarang sampai selamanya).
Bagi Arminian ayat ini menjadi salah satu dasar bahwa keselamatan bisa hilang,
Bagi Calvinist ayat ini ditafsirkan seolah ancaman kosong karena umat pilihan tidak mungkin akan jatuh karena tidak mengampuni.


Kita memang harus berusaha menjelaskan tentang keselamatan, salah satu caranya adalah menggunakan bantuan doktrin-doktrin yang sudah ada (yang tidak bidah tentunya), tapi jika itu coba dimutlakkan sebagai satu-satunya penjelasan yang Alkitabiah (sisanya tidak Alkitabiah), maka timbullah debat kusir ataupun pemahaman yang terlalu ekstrim.

Jika org bertanya kepada saya, apakah keselamatan bisa hilang, maka (sampai dengan saat ini) saya akan respon:
Sesuai tulisan Alkitab, in theory, ada peringatan keras bagi umat Tuhan agar mereka tetap beriman, dan iman
yang benar harus nampak dari perbuatan iman (works of faith, bukan perbuatan daging).

Itu in theory.


In theory saya meyakini gabungan doktrin Reformed dan Arminian (mengapa pula membatasi diri hanya meyakini satu doktrin?).

Saya meyakini Tuhan memilih sebagian umat pilihan secara eksklusif by name, yaitu orang-orang
yang sudah pasti selamat, dipilih atas kedaulatan Tuhan dan tidak mungkin binasa, ini contohnya ke 12 Rasul Anak Domba dan Rasul Paulus. Keselamatan mereka terjamin.

Namun untuk sisanya Tuhan berikan prevenient grace dan memberikan mereka pilihan untuk percaya atau menolak Dia. Bagi golongan inilah segala teguran dan peringatan dituliskan di Alkitab. Mereka ini harus mempertahankan iman sampai akhir.


Adanya kedua golongan manusia ini menjadikan Alkitab punya 2 sisi pesan, yaitu sisi jaminan dan sisi peringatan, namun semua tergantung iman, bukan perbuatan daging. Imanlah
yang memberikan kemampuan, imanlah yang membuat orang mampu berbuah sesuai ukuran yang Tuhan tetapkan bagi tiap-tiap orang.

Itu (sekali lagi) in-theory.

Dalam prakteknya, saya meyakini 100% keselamatan saya OSAS.
I am saved already, will always be saved and will not lose it.
Saya pasti selamat dan pasti berbuah sesuai ukuran Tuhan bagi saya.

Itulah iman saya dan iman itulah yang pasti terwujud dalam hidup saya no matter what my current condition.

Personally (not in theory), iman saya adalah hypergrace dan saya akan memotivasi orang lain supaya mereka punya iman pribadi yang hypergrace,
 

Namun bgitu, ketika membahas aspek teoritis keselamatan, saya tidak akan menginterpretasikan Alkitab menurut pola hypergrace seolah-olah peringatan di Alkitab tidak lagi valid bagi umat Tuhan, seolah segala ayat teguran pastilah bagi orang-orang di luar Kristen dan ayat yang enak-enaklah yang valid bagi umat Kristen.

Demikian catatan saya,
Tuhan Yesus memberkati.





Selasa, 01 Agustus 2017

Nazar (sepihak) Yefta



Ini adalah kisah yang kontroversial hingga kini. Akhir kisah ini begitu memilukan karena bertentangan dengan hati nurani manusia.
Mereka yang membaca kisah ini terbagi dalam beberapa kubu, ada yang berusaha mengambil nilai positif dari Yefta, ada yang mendiamkannya saja berharap tidak ada yang membahas, ada lagi yang menggunakannya untuk menyerang kasih Tuhan.

Bagaimana mungkin Tuhan yang Mahakasih meridhoi pengurbanan gadis perempuan?

********

Mari kita berangkat dari latar-belakang.

Yefta adalah anak dari seorang pekerja seks, diusir oleh bangsanya, lalu menjadi perampok.

Yefta adalah seorang kasar yang sedari mudanya tidak terdidik dalam Taurat.

Sebagai perampok, ia memiliki keberanian dan keahlian dalam berperang. Pada saat Israel membutuhkan tenaganya, maka tua-tua Yahudi mendatanginya agar Yefta memimpin mereka.


Yefta bukanlah seorang yang tulus. Ia berpikir secara transaksional, ia menghitung untung-rugi.
Sebelum bersedia menerima tugas dari tua-tua Yahudi maka ia meminta syarat.
Yefta mengajukan syarat agar ia diangkat menjadi panglima Gilead bila ia berhasil memenangkan peperangan.

Sesudah tua-tua Yahudi menyepakatinya, Yefta kemudian berpikir tentang Tuhan.
Bagaimanapun Yefta menyadari bahwa ia tidak mungkin bisa menang perang hanya mengandalkan pengalamannya sebagai perampok. Ia butuh Tuhan yang membelanya.

Dengan pola pikirnya yang transaksional, ia secara sepihak bernegosiasi dengan Tuhan, ia mengajukan tawar-menawar.

Sebagaimana ia memberikan syarat kepada tua-tua Yahudi agar ia bersedia menerima tugas, maka ia mengira Tuhan perlu diberi insentif agar Tuhan bersedia membantunya berperang. 
Maka Yefta kemudian bernazar.

Nazar Yefta muncul dari rasa tidak aman dirinya, ia merasa butuh jaminan agar Tuhan memberi dia kemenangan.

Apakah Tuhan membutuhkan nazar Yefta? Apakah Tuhan meminta syarat kepada Yefta?

Perhatikan ayat 29.
Lalu Roh TUHAN menghinggapi Yefta; ia berjalan melalui daerah Gilead dan daerah Manasye, kemudian melalui Mizpa di Gilead, dan dari Mizpa di Gilead ia berjalan terus ke daerah bani Amon. 


Pada saat Yefta menerima tugas dari tua-tua Yahudi dan menulis surat kepada Raja Amon, maka Tuhan mengurapi Yefta. Roh Kudus turun atas Yefta.

Barulah di ayat 30-31, Yefta bernazar.

Pertanyaannya, Roh Kudus mengurapi Yefta lebih dulu ataukah Yefta bernazar lebih dulu?
Ternyata urapan telah turun kepada Yefta sebelum ia bernazar.

Jadi sebetulnya Tuhan tidak perlu diiming-imingi persembahan, itu inisiatif Yefta sendiri. 



Mungkin ada orang berkata:
'Tapi buktinya Yefta diberi kemenangan sesudah ia bernazar, berarti Tuhan merestui nazarnya dong?'

Baiklah kini kita bicara mengenai persembahan/nazar.

Hukum Taurat mengatur dengan jelas apa saja yang layak dipersembahkan kepada Tuhan.
Tuhan jelas-jelas melawan dan mengutuk persembahan manusia.
Hewan saja tidak boleh sembarangan dijadikan korban bakaran; unta, kucing, kodok tentu tidak bisa jadi korban bakaran, apalagi manusia!

Yefta membuat sumpah berdasarkan pikirannya yang kasar, ia tidak peduli apakah persembahannya berkenan atau tidak, apakah layak atau tidak bagi Tuhan, ia tidak peduli dengan aturan Taurat, yang penting janji dulu.


Coba saja kita lihat nazar Yefta:

Lalu bernazarlah Yefta kepada TUHAN, katanya: "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku,
maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran. 

Kalau yang melintas di pintunya adalah anjing, tentu anjing akan ia bakar kepada Tuhan.
Apakah Tuhan mau?
Tentu tidak.

Nazar Yefta has nothing to do with God, Tuhan sudah atur korban bakaran itu apa saja dan melarang keras pengorbanan manusia. Jangan libatkan Tuhan seolah Ia-lah yang meminta korban manusia.


*********

Sekarang mengenai anak perempuan Yefta.
Apakah anak perempuan Yefta mati?

Ini masih dispute para kawan....

Lalu bernazarlah Yefta kepada TUHAN, katanya: "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku,
maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran."


Ada interpretasi bahwa bunyinya:

...(jika manusia) itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan (jika hewan) aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.

Menurut interpretasi ini, anak Yefta tidak mati, ia hidup menyepi sebagai perawan yang melayani Tuhan hingga matinya.


*********


Interpretasi lain, anak Yefta benar-benar dibunuh ayahnya.

Kisah Yefta ini masuk dalam tradisi rabbinik.


Disebutkan pada tradisi rabbinik bahwa Yefta sebenarnya bisa membatalkan nazarnya karena Taurat telah mengatur apa saja yang layak dipersembahkan. Hal-hal yang tidak layak dipersembahkan wajib ditolak.
Namun Yefta terus maju dengan pemikirannya sendiri.

Dalam tradisi rabbinik tersebut dikisahkan bahwa Yefta dan Pinehas (Imam Besar) saling mengeraskan hati,
Pinehas menolak datang menegur Yefta karena menganggap Yefta orang kasar, sementara Yefta menolak datang bertanya pada Pinehas karena mrasa berjasa sebagai pemimpin perang.

Akhirnya, anak Yefta mati, pinehas kehilangan urapan Tuhan sedangkan Yefta jatuh sakit sedmikian rupa sehingga anggota-anggota tubuhnya bergeletakan di kota-kota Gilead.

**********

Jika kita padankan pada kondisi masa kini, maka sudah ada aturan hukum, ada Alkitab, ada gereja, ada pendeta, ada imam-imam.

Jika di masa kini ada seorang ingin membunuh, apakah kita menuntut agar Tuhan sendiri yang langsung menampakkan diri untuk mencegah orang itu seperti Abraham dicegah Tuhan mengorbankan Ishak?

Kalau Abraham iya, Tuhan intervensi karena Tuhan yang menyuruh Abraham;
Kalau Yefta ini kan nazarnya dia sendiri, bukan Tuhan yang suruh.

Tuhan sudah melakukan intervensi dan mencegah melalui hukumNya,
Ia juga sudah menempatkan imam besar, imam-imam dan tua-tua di Israel untuk umatNya.

Sama seperti masa kini jika orang mau melakukan kejahatan, bukankah sudah ada aturan hukum, sudah ada aparat penegak hukum, sudah ada Alkitab, ada gereja dan ada pendeta yang bisa orang itu ajak bicara?

Sama saja misal kita bertanya, kenapa pas Daud mau membunuh Uria kok Tuhan tidak intervensi langsung?
Kenapa pas Salomo menyembah berhala kok Tuhan tidak menampakkan diri langsung?
Kenapa pas Hawa mau makan buah kok Tuhan tidak langsung berdiri di sampingnya?

Begitulah Tuhan telah menugaskan orang-orangNya untuk mencegah kejahatan keji, Tuhan juga sudah memberikan hukumNya. Sekarang tergantung bagaimana kemauan manusia itu sendiri.


Nazar Yefta bukanlah dari Tuhan, bukan juga kemauan Tuhan,

Nazar Yefta adalah kemauan Yefta sendiri yang berasal dari pikirannya yang tidak mau mengenal Taurat.

Tuhan Yesus memberkati.




Faith of God

Markus 11:22 Yesus menjawab mereka: "Percayalah kepada Allah!   Konteks dari ayat ini adalah kisah pohon ara yang dikutuk...